Rabu, 14 Desember 2011

Nias dan Status Warisan Dunia

Tak banyak orang sadar bahwa 16 November adalah hari Konferensi Warisan Dunia. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah menambah panjang daftar usulan status warisan dunia kepada Unesco. Dalam konferensi persnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, mengatakan Indonesia mengajukan tiga usulan status budaya dunia yakni Taman Mini Indonesia Indah, kerajinan tangan Noken dari Papua serta tiga tarian Bali yakni tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan.


Usulan itu akan menjadi bahan pembicaraan pertemuan pemerintah Indonesia dengan Unesco tahun depan. Sayang tak ada rincian bagaimana dengan kemajuan usulan sejenis yang telah disampaikan tahun sebelumnya. Sehingga kita tak tahu apakah rumah adat (Omo Sebua) bakal segera mendapat status sebagai warisan dunia.


Sebelum pengumuman itu sudah ada 27 usulan situs warisan dunia dari Indonesia ke lembaga kebudayaan tertinggi dunia itu. Desa Adat Bawomatoluo termasuk salah satu usulan itu. Bila usulan tersebut terkabul, berarti ia menjadi bagian dari kekayaan dunia. Arti obyek itu, seperti Candi Borobudur mendapat dana warisan dunia.


Ini bukan program baru. Konferensi Umum Unesco telah memulainya pada 16 November 1972. Semenjak itu banyak banyak tempat-tempat khusus seperti hutan, pegunungan, danau, gurun pasir, bangunan, kompleks, atau kota diajukan untuk mendapatkan status UNESCO’s World Heritage Sites.


Pada saat ini, di Indonesia terdapat 7 situs yang menjadi Warisan Dunia yang telah diakui oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB, diantaranya Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (diakui pada tahun 1991), Taman Nasional Ujung Kulon, Banten (diakui pada tahun 1991), Taman Nasional Lorentz, Papua (diakui pada tahun 1999), Hutan Hujan Tropis Sumatera, yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Bukit Barisan (diakui pada tahun 2004), Candi Borobudur (diakui pada tahun 1991), Candi Prambanan (diakui pada tahun 1991), dan Situs Manusia Purba Sangiran (diakui pada tahun 1991).


Tentu tak semua usulan lolos. Oleh karena itu butuh dukungan agar setiap usulan lolos. Bawomatoluo sendiri pernah meraih dukungan dari pemerintah Jepang. Hal itu disampaikan pada pertemuan Menteri Kebudayaan Asia dan Eropa pada Asia-Europa Culture Minister Meeting (ASEM) ke-4 pada 9-10 September 2010 di Poznan, Polandia. Sebanyak 40 delegasi dari negara-negara di Asia dan Eropa hadir.


Status itu tentu menjadi harapan banyak pihak di Nias Selatan. Omo Sebua kini dalam kondisi merana, menurut tim peneliti gabungan beberapa ahli berbagai universitas di Jepang dan UGM yang kini tengah bekerja di sana, amat kritis. Bila ingin menyelematkannya mesti dibongkar dan dibangunulang.


“Untuk membenahi hal-hal kecil saja butuh puluhan juta rupiah,” ujar Mo”arota Wau, atau Ama Ana, pengelola rumah tua yang berdiri lebih dari tigaratus tahun lalu itu.


Tak banyak orang yang hirau pada kondisi itu. Beberapa waktu lalu bagian atap Omo Sebua itu runtuh. Hingga hari ke empat pihak Pemda Nias Selatan tak juga melakukan tindakan berarti. Inilah gambaran kesadaran akan kewajiban memelihara warisan budaya kita. Bukan cuma orang Nias namun juga seluruh warga bangsa ini.


Dana Unesco bukan tidak terbatas. Untuk bisa lolos dan mendapat status warisan dunia banyak yang mesti disiapkan. Tak cuma masyarakat yang mesti menyiapkan diri, pemerintah daerah dan pemerintah pusat pun mesti menunjukkan keseriusannya.


Bila akhirnya Unesco menolak, kewajiban merawat Omo Sebua tetap ada. Mau tak mau kita mesti menggantungkan pada pundak kita sendiri bukan dari uluran tangan bangsa lain. Mungkin saja Unesco melihat keseriusan kita terlebih dahulu sebelum menentukan keputusannya. Kian kita ambai pada Omo Sebua, kian jauh status warisan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar