Senin, 19 Desember 2011

Mukaddimah

Farhad Daftari mendefinisikan tradisi intelektual Islam sebagai kekayaan peradaban Islam yang berkembang dalam berbagai keilmuan seperti teologi, hukum, filsafat, sastra, mistisisme, seni, dan ilmu pengetahuan alam yang beraneka ragam dan berinteraksi dengan tradisi lain. Muhsin Mahdi mengistilahkan tradisi intelektual Islam dengan modern muslim intelligencia (kecerdasan muslim moderen) yaitu kesempatan untuk menyalakan kembali tradisi rasional dalam Islam. Pandangan ini didasarkan indahnya rasionalitas dalam sejarah filsafat, kemudian berubah dalam Islam menjadi pengembangan tradisi rasional dalam kontek Islam dan menekankan munculnya aliran Mu‘tazilah sebagai a Single Global Theological School (Sekolah Teologi Tunggal Global), Mir Damad dan Mula Sadra sebagai New Wisdom School Persia (Sekolah Kebijaksanaan Baru Persia) sebagai pelopor rasionalitas di zaman moderen. Mulyadhi Kartanegara mengatakan usaha-usaha untuk menghidupkan kembali tradisi ilmiah Islam adalah yang dibutuhkan oleh Islam, sebagaimana prestasi yang dicapai oleh ilmuan muslim dari banyak sekali cabang ilmu yang mereka kembangkan, selama masa-masa yang menandai zaman keemasan Islam (abad IX-XV M). Dengan demikian, secara definisi tradisi intelektual Islam dapat difahami sebagai aktifitas pemikiran intelektual Islam dan dan mentransformasikannya agar diterima oleh masyarakat sebelum diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Bukti adanya tradisi intelektual Islam pada masa awal Islam adalah berdirinya kelompok belajar ashhāb al-Shuffah di Madinah. Pembelajaran dalam kelompok ini adalah al-Qur’an, Hadits-Hadits Nabi, serta berbagai keterampilan membaca dan menulis dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Tradisi intelektual Islam selanjutnya berkembang mengkaji linguistik Arab. Karena dalam ilmu tata bahasa Arab, ilmu inilah yang pertama kali mencapai kematangan dari segi epistemologis. Menurut Syauqi Dhaif, dalam sejarah linguistik Arab (nahwu), terdapat beberapa Mazhab (madrasah) nahwu, yaitu Mazhab Basrah, dan Kufah.

Pada abad ke-19, dengan tetap memandang penting periode perkembangan abad ke-17 dan 18- ashhāb al-Jawiyin mulai menyalurkan pemikiran dan geakan neo-Sufism berbasis trend intelektual di Makkah dan Madinah-. Abad ini sekaligus menandai satu merupakan suatu periode penting dalam perkembangan Islam Indonesia yang menjadi landasan historis proses pembentukan Islam arus utama Indonesia. Pada periode ini ulama dan pesantren berkembang menjadi institusi Islam yang mapan (established). Selain jumlahnya yang meningkat, periode ini juga diisi dengan tampilnya sejumlah ulama –terutama mereka yang di Makkah- sebagai elit sosial yang memiliki keterlibatan selain sosial keagamaan sekaligus sosial-politik umat, gerakan melawan pemberontakan melawan kolonialisme. Di sini, dimensi internasional juga bisa dilihat pada membanjirnya kitab-kitab yang menjadi bahan bacaan utama pembelajaran Islam di pesantren, yang sebagian ditulis para ulama Timur Tengah, disamping ulama Nusantara, ulama Jawi.

Selain itu, abad ini juga ditandai dengan kelahiran tradisi intelektual Islam yang cukup penting yaitu tradisi syarah , berupa komentar atas kitab-kitab standar. Syarah juga didefinisikan sebagai gagasan pembuka, pengembangan, penjelasan dan akhirnya komentar dari sebuah teks asli yang diakui sebagai sumber asli ajaran Islam. Syarah berfungsi sebagai elaborasi interpretatif dari teks asli (matan), yang berperan penting dalam rangka proses transformasi dan kontektualisasi diskursus intelektual Islam dan bagi pembentukan kehidupan keagamaan Muslim. Tradisi intelektual Islam berkembang dengan varian yang komplek dalam bentuk tradisi syarah, hashiyah dan mukhtasar dengan mencakup pelbagai disiplin keilmuan Islam seperti fikih, teologi, tasawuf dan sebagainya.

Syaikh Nawawi Al-Bantani, salah satu representasi tokoh Ulama Jawi asal Tanara, Banten, ikut mengokohkan tradisi intelektual Islam dengan menulis berbagai kitab dalam bentuk matan, syarah, dan hasyiyah dalam berbagai bidang, fiqh, aqidah, tasawuf, tafsir dan hadits. Kitab matan adalah kitab yang berisi uraian singkat dan padat, kitab syarah adalah kitab penjelasan secara lebih panjang apa yang ditulis dalam kitab matan. Kitab Hasyiyah adalah kitab yang berisi kritik, komentar, revisi dan berbagai pendapat ahli tentang hal-hal yang ditulis dalam kitab matan maupun syarah. Melalui tradisi syarah ini, Nawawi hadir sebagai ulama Nusantara terkemuka di dunia Arab dengan audiens Muslim di berbagai belahan dunia termasuk pesantren-pesantren Nusantara, mengkomunikasikan misi dan gagasan-gagasan mereka ke negeri yang jauh dan dalam satu periode sejarah yang berbeda. Di sini syarah memiliki posisi intelektual sangat penting sebagai media untuk mengartikulasikan misi keagamaan ulama pesantren, dan sekaligus menjadi pembentuk otoritas keagamaan mereka. Kitab-kitab syarah menjadi bukti kuat bagi kontektualisasi Islam di Nusantara yang dilakukan oleh para ulama pesantren. Penulisan kitab-kitab Syaikh Nawawi dalam berbagai disiplin keilmuan, telah banyak berjasa dalam membentuk pandangan tentang masalah-masalah keagamaan tertentu yang tersebar di tengah-tengah masyarakat terutama di masyarakat pesantren. Melalui berbagai macam karyanya Syaikh Nawawi dapat memperkokoh masyarakat Indonesia dalam menganut mazhab Imam Syafi’i. kitab-kitab Syarahnya diberbagai ilmu menjadi referensinya. Secara khusus, tulisan ini akan mengkaji tradisi Intelektual Islam melalui peran tradisi Intelektual Islam yang direpresentasikan Syaikh Nawawi. Penggunaan karya-karya ilmiahnya [meski sebatas syarah, tahksis kitab-kitab ulama terdahulu] pada kurikulum keilmuan Islam yang diterapkan mayoritas pondok pesantren di pelosok nusantara maupun kawasan lain di dunia Islam, menjadi dasar kepatutan menelisik tradisi intelektual Islam yang dikembangkan Syaikh Nawawi.

Syaikh Nawawi; dari Tanara Hingga Ma’la

Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi al-Tanara al-Jawi al-Bantani atau lebih dikenal sebagai Syaikh Nawawi al-Bantani lahir pada tahun 1815 M/1230 H di Kampung Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten. Dari sisi keturunan, Syaikh Nawawi merupakan merupakan generasi ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati, Cirebon) melalui jalur Sunyararas (Tāj al-‘Arsy) putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I). Selain itu, nasabnya dikabarkan bersambung dengan Imam Muhammad al-Baqir, Imam ‘Ali Zayn al-‘Abidin, Sayyidina Husein, lalu Fathimah al-Zahra.

Mengacu pada silsilah dan kondisi sosial wilayah kelahirannya, Syaikh Nawawi lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menjalankan praktek keagamaan secara ketat disamping mencintai ilmu pengetahuan. Ayahnya ‘Umar ibn ‘Arabi merupakan penghulu/pemimpin mesjid setempat. Syaikh Nawawi melalui fase pendidikan pertamanya dengan mempelajari keilmuan dasar Islam seperti bahasa Arab (Nahwu dan Sharf), Fikih, Tauhid dan Tafsir bersama dua saudaranya, Tamim dan Ahmad, dari ayahnya sendiri. Selanjutnya, Syaikh Nawawi belajar kepada Kiyai Sahal, salah satu tokoh ulama Banten, sebelum kemudian belajar kepada Kyai Haji Yusuf di daerah Purwakarta (Karawang), Jawa Barat. Pada usia ke-15, ia pergi ke Makkah untuk berhaji sekaligus belajar Ilmu Kalam, Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu Hadits, Tafsir dan Ilmu Fiqih. Di kota ini, Nawawi tinggal selama tiga tahun sebelum kembali pulang ke Tanara tahun 1833 M. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok.

Namun, situasi sosial politik Banten yang makin tidak kondusif di bawah kolonialisme Belanda akhirnya mendorong Syaikh Nawawi kembali ke Makkah dan menetap selamanya di kota tersebut. Kepergiannya dinilai sebagai perlawanannya atas intervensi “kafir” Belanda sekaligus melestarikan pengaruh kerajaan Islam Banten melalui jalur pendidikan dengan cara mengkader tokoh-tokoh agama Nusantara yang belajar ke Makkah. Sedang Hurgronje menduga, motif kepergiannya adalah belum merasa terpenuhinya cita-cita dan harapan masyarakat Banten. Terdapat beberapa pendapat seputar kapan Nawawi kembali ‘hijrah’ ke Makkah. Namun Guillot mencatat, berpendapat ia pergi tahun 1850-an .

Sesampainya di tanah suci, Syaikh Nawawi kembali melanjutkan pendidikannya kepada beberapa guru seperti Syaikh Khatib Sambas dan Syaikh Abdul Gani Duma, dua ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati dan Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hambali. Syaikh Nawawi juga melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Syaikh Nawawi juga pernah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Di Mesir ia belajar kepada Syaikh Yusuf Sumbulawini dan Syaikh Ahmad Nahrawi Ramli tidak mencatat bukti-bukti kunjungan Syaikh Nawawi ke luar Makkah, namun Chaedar telah menceritakan bahwa Syaikh Nawawi pernah berkunjung ke Universitas Al-Azhar dalam suatu diskusi.

Seiring berjalannya waktu, lamanya masa pembelajarannya sekaligus intensnya interaksi intelektual dengan sejumlah ulama mendorong kematangan intelektual Syaikh Nawawi makin mencapai puncaknya. Hal ini sekaligus menandai fase karirnya sebagai bagian dari jajaran intelektual Islam kala itu. Pada periode ini, Syaikh Nawawi mulai menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam berbagai tulisan, baik gagasan sendiri maupun komentarnya (syarah) terhadap karya-karya ilmiah ulama terdahulu. Tulisan-tulisannya mencakup berbagai bidang disiplin keilmuan Islam seperti Fiqh, Tauhid, Tasawuf, Tafsir dan Hadits. Di bidang tafsir, karyanya yang cukup monumental adalah al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd atau biasa dikenal sebagai Tafsir Al Munir. Di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Di bidang Ilmu Fiqih antara lain Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Di bidang Tasawuf ia menulis Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj al-Raghibi. Khusus di bidang Fiqh, ia menulis Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain yang cukup banyak dikaji di berbagai pesantren di Jawa hingga saat ini.

Selain menulis dan mengajar, Syaikh Nawawi juga tetap melakukan kontak intelektual dengan para ulama di masanya. Sebagai apresiasi atas dedikasinya mengajar dan menulis, tahun 1870 ulama-ulama Universitas al-Azhar Mesir mengundangnya menyampaikan kuliah dalam forum diskusi ilmiyah menyusul banyaknya karya Nawawi yang tersebar di Mesir. Mereka ingin mendengar lebih detil langsung dari penulisnya. Kunjungan ini sekaligus mengindikasikan kontak intelektualnya dengan dinamika pemikiran yang berlangsung di negara tersebut. Perlu dicatat, sejak pertengahan abad 19 M, gerakan pembaharuan mulai berlangsung di Mesir dengan dipelopori Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh yang menggalakkan kekembalian pada sumber utama Islam: al-Qur’an dan al-Hadits. Seruan kembali pada al-Qur’an sedikit banyak diamatinya sewaktu berada di Mesir. Beberapa saat pasca kunjungan ke Mesir, Syaikh Nawawi termotivasi menulis Tafsir al-Qur’an, Marāh Labīd, sebagai respon terhadap seruan gerakan pembaharuan. Menurutnya, kitab ini diposisikan sebagai jawaban atas tuntutan kondisi umat Islam yang lemah dalam menghadapi budaya Barat, selain itu, kita ini juga diposisikan sebagai pionir dalam kajian al-Qur’an di tengah-tengah tradisi intelektual yang hanya mengulang karya ulama klasik dengan mensyarah saja.

Dalam kehidupan pribadinya, Syaikh Nawawi tercatat memiliki dua istri, Nasimah dan Hamdanah. Melalui Nasimah, ia memiliki tiga putri, yaitu Maryam, Nafîsah, dan Ruqayyah. Sedangkan dari Hamdanah, ia memiliki seorang putri bernama Zahrah. Pada tanggal 25 Syawwal 1314 H, Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 84 tahun. Ia wafat saat masih menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhaj al-Thālibīn (Jalan Para Pencari Ilmu) karya Yahya ibn Sharaf ibn Mura ibn Hasan ibn Husayn. Ia dimakamkan di Ma‘la, dekat makam Siti Khadijah. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa, Banten, setiap tahun di hari Jum‘at terakhir bulan Syawāl selalu diadakan acara haūl (memperingati 100 hari) untuk memperingati jejak peninggalannya.

Gagasan-Gagasan Tradisi Intelektual Islam Syaikh Nawawi Al-Bantani

Dalam penelitian penulis, gagasa-gagasan tradisi intelektual Islam yang dikembangkan Syaikh Nawawi Al-Bantani mencakup tiga garis besar utama. Pertama, penulisan kitab dalam aspek pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Kedua, membentuk koloni Islam Jawa dengan tujuan mencetak kader-kader ulama dan tokoh pergerakan di Nusantara. Ketiga, penguatan dan pengembangan sistem pendidikan ilmu pengetahuan.

a. Penulisan Kitab

Tradisi intelektual yang dikembangkan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani adalah banyaknya karya-karya yang dituangkan dalam penulisan kitab, baik sebagai tulisan sendiri maupun dalam bentuk komentar (syarah). Zamakhsyari Dhofier, mengutip hasil penelitian Yusuf Alian Sarkis dalam bukunya yang berjudul Dictionary of Arabic Printed Books from the Beginning of Arabic Printing Until the End, menyebutkan karangan Syaikh Nawawi sebanyak 34 buah, bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa tidak kurang dari 22 karya Syaikh Nawawi al-Bantani masih beredar, dan 11 judul dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren. Karena itu, Snouck menilainya sebagai ulama yang memiliki ketajaman mata pena dibanding lidahnya. Informasi lain menyebutkan bahwa kitab-kitab karangannya (sekitar 115 judul kitab) ada di Universitas al-Azhar Mesir, Belanda, dan di tempat-tempat lainnya. Bukan hanya itu, karya-karya besar Syaikh Nawawi juga ada di Perguruan Tinggi Chicago. Penerbit Mushthafa> al-Babi al Halabi, Kairo, yang di tahun 1859 mempublikasikan 14 judul karya Syaikh Nawawi, dalam katalognya menulis pengarang itu sebagai “seorang ulama besar di permulaan abad ke-14 H.”

Menurut Nurcholish Madjid, karya-karyanya beredar terutama luas di wilayah Timur Tengah yang berbasis mazhab Syafi’i. Dari sana umat Islam membawanya ke Indonesia. Sesudah merdeka, karya-karya itu dicetak ulang di Singapura, Jakarta, Cirebon, Bandung, Surabaya, Penang, Kota Baru, Malaysia. Ray Salam T. Magondanan mencatat, karya Syaikh Nawawi diketahui tetap dikaji di kalangan madrasah di Mindanao, Filipina Selatan. Selain itu, karyanya juga banyak dikaji di berbagai madrasah di Patani, Yala, Satun, dan Narathiwat, Muangthai Selatan. Bahkan di Malaysia karya Syaikh Nawawi dijadikan bahan standar. Sulaiman Yasin sendiri, dosen Fakultas Pengkajian Islam Universitas Kebangsaan Malaysia, di masa belianya mengaji karya Syaikh Nawawi di pesantren di Johor, sekitar tahun 1950. Ia menegaskan, “Pesantren di tempat-tempat lain di Malaysia, setahu saya, juga mengaji (karya-karya) Syaikh Nawawi. Itu kira-kira sampai 1958.”

Di Nusantara, penelitian Martin Van Bruinessen pada 46 pesantren di Indonesia mencatat sejumlah besar kitab-kitab Syaikh Nawawi al-Bantani sering dibaca dijadikan referensi dalam proses pembelajaran para santri seperti al-Thimar al-Yani’āh, Kāshifat al-Sajā, Sullam al-Munājāh, dan ‘Uqūd al-Lujayn. Selain itu, masih ada kitab lainnya seperti Nūr al-Zhualām, Fath al-Majīd, Tījān al-Darāri, dan masih banyak lagi. Karya-karya besar yang merangkum pemikiran pembaharuannya mencakup tujuh bidang keilmuan, yaitu fikih, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits, sejarah Nabi, serta bahasa. Namun pada umumnya, semua karyanya merefleksikan nuansa tradisionalisme Islam dan sufisme. Tradisionalisme ditandai dengan kecenderungan kemapanan dan konservatisme dimana teks-teks suci biasanya, termasuk karya ulama klasik, dibaca dan dipahami secara literal. Sedang sufisme ditampilkan dengan ketaatan beribadah dan pelaksanaan ritual-ritual secara mendalam, intens, dan asketis. Dalam tulisan Syaikh Nawawi, penekanan pada aspek ini sangat kuat. Dua hal inilah, mungkin, yang menyebabkan tulisan Syaikh Nawawi digemari oleh tradisi keilmuan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu.

b. Membentuk Perkumpulan Koloni Jawa (Ashhāb al-Jawiyah)

Selain menulis, Syaikh Nawawi aktif mengajar terutama bagi mahasiswa-mahasiswa Nusantara/Jawa yang belajar ke Kota Suci Makkah. Sejumlah murid Nawawi tercatat sebagai tokoh-tokoh nasional Islam yang banyak berperan dalam dakwah Islam maupun perjuangan nasional seperti K.H. Hasyim Asy‘ari dari Tebu ireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H. Khalil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri K.H. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan K.H. Nawawi, Nyi Salmah binti Rukayah binti Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin, Labuan, Pandeglang, Banten, K.H. Ilyas dari kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang, Banten, K.H. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Kedekatannya dengan para mahasiswa asal Nusantara mendorongnya aktif membina suatu perkumpulan Koloni Jawa (ashhāb al-jawiyah), yang menghimpun masyarakat Indonesia yang berada di sana. Aktifitas perkumpulan ini mendapat perhatian dan pengawasan khusus dari pemerintah kolonial Belanda, sama seperti saat ia masih tinggal di Indonesia. Menurut Snouck, Syaikh Nawawi paling berbahaya, karena menanam pengaruhnya di kalangan jamaah haji Indonesia menentang kolonial Belanda. Menurutnya lagi, dari Makkah inilah perlawanan rakyat Nusantara dikontrol dan dimotori. Peranan Syaikh Nawawi membangun koloni Jawa bagi mukmin di Makkah yang di kemudian hari mereka banyak yang menjadi intelektual pesantren. Demikian pula corak pemikirannya dalam bidang kalam, fikih dan tasawuf memiliki kontribusi dalam faham ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah. Koloni ini juga memperkuat bukti bahwa genealogi intelektual kyai-kyai Jawa ternyata bersumber dari Syaikh Nawawi. Syaikh Mahfud al-Tirmisi (w.1918 M) ulama ahli Hadits yang memperoleh gelar al-musnid, pengajar di Masjid al-Haram adalah muridnya. Dan muridnya yang lain ialah Kyai Khalil Bangkalan yang lebih menonjol dunia esoteriknya dan Kyai Hasyim Asy‘ari Tebuireng yang mengenalkan sistim klasikal pada pengajaran pesantren, yang melahirkan kyai-kyai besar di Jawa dan Madura.

c. Mengembangkan Lembaga dan Sistem Pendidikan

Tidaklah dapat dipungkiri bahwa tradisi intelektual Islam mengalami kemajuan ditopang oleh lembaga pendidikan baik lembaga formal maupun informal. Dalam konteks ini, Syaikh Nawawi banyak menyampaikan pengajarannya melalui lembaga pendidikan informal yang terbentuk semenjak kesultanan Banten muncul meski sempat menyampaikannya melalui lembaga formal seperti ketika beliau berkunjung ke Universitas al-Azhar. Beberapa model lembaga pendidikan informal yang digunakan Syaikh Nawawi adalah padepokan/paguron, Masjid, Langgar. Lembaga pendidikan Islam awal di Banten adalah padepokan atau paguron, yang artinya adalah tempat seseorang atau raja-raja Jawa dahulu mengasingkan diri untuk berkhalawat, bersemedi, mencari ilmu atau kekuatan batin. Sedang mesjid, Isman Pratama Nasution mencatat, Syaikh Nawawi berkeliling dari satu masjid ke masjid yang lain untuk mengajar dan menghafal kitab-kitab seperti matan al-Jurumiah, matan tahrib, matan al-fiyah, matan bina, matan sullam, Juga menjadi tempat tinggalnya sementara sebelum melanjutkan perjalanannya ke masjid yang lain

Sementara implementasi sistem pendidikan yang dilakukan oleh Syaikh nawawi dimulai dengan pengajaran pokok-pokok ajaran Islam, aqidah, ibadah, tata cara wudhu dan shalat fardhu diajarkan secara teori dan praktek dirumah-rumah tempat menginap Syaikh Nawawi. Biasanya murid-muridnya berkumpul antara waktu Asar dan Maghrib. Setelah selesai jamaah biasanya diisi dengan pelajaran agama dalam bentuk penuturan lisan (ceramah) mengenai pokok-pokok ajaran Islam seperti rukun iman, rukun Islam, pelaksanaan ibadah dan akhlak. Sementara mekanismenya sendiri dilakukan melalui cara dialog, tabligh/pidato, dan pengajian dengan pola tradisional seperti sorogan dan model bandongan. Wallahu’alam

Disarikan dari Tesis Saeful Bahri, Tradisi Intelektual Islam Syaikh Nawawi Al-Bantany. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011

Zaenal Muttaqin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar