Senin, 19 Desember 2011

Sejarah Tak Serius -Kesultanan Demak dan Nasi Kucing

Daerah Bintoro, yang saya lihat sekarang adalah sebuah wilayah ‘kecil’ di pusat Kota Demak, Jateng tampak biasa dan tidak menyiratkan pernah menjadi ibukota salah satu Kerajaan Islam Besar di Jawa. Bintoro terlihat kumuh, bangunan pasar yang digusur menambah ruwetnya situasi kota. Ratusan pedagang sayur, buah, lapak makanan, tukang becak, ojek berbaur tak teratur.

Padahal di masa lalu, Bintoro menjadi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan dinamakan Bintara (dibaca “Bintoro” dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Periode ketika beribukota di sana kadang-kadang dikenal sebagai “Demak Bintara”.

Kesultanan Demak adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan.

Sekedar diketahui, Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.

Sementara itu, Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan.

Lantas saya berpikir; pernahkah bangsa ini memberanikan diri membuat visi besar? Atau hanya sebesar nasi kucing, makanan khas kota Demak di waktu malam?***

Cucuk Espe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar