Pada tanggal 18 Agustus 2011 telah berpulang fotografer Charles Breijer di kota Hilversum, Negeri Belanda. Tak banyak dari kita yang mengenal namanya dan mengetahui kiprahnya di dalam sejarah negara kita. Padahal sesungguhnya, dari ketajaman matanya dan kepiawaian memotretnya, dia telah meninggalkan warisan foto-foto suasana Republik Indonesia waktu masih ‘bayi yang sedang belajar merangkak’ yang tak ternilai harganya. Charles Breijer datang ke Indonesia pada tahun 1947 sebagai kameraman yang dikontrak pemerintah Belanda untuk membuat film propaganda. Namun di luar tugas resminya, dia juga mengabadikan peristiwa-peristiwa humanis dari manusia Indonesia yang baru mengenyam kemerdekaannya.
Charles Breijer lahir di Den Haag, 26 November 1914. Pada masa pendudukan Jerman, dia bergabung pada Serikat Jurnalis Belanda yang dibentuk oleh Jerman untuk bisa melanjutkan profesinya sebagai jurufoto. Sekali pun menghadapi banyak sensor, dia berhasil mengabadikan peristiwa yang ditabukan oleh pemerintah pendudukan, seperti kehidupan perlawanan bawah tanah rakyat Belanda. Menjelang akhir kejatuhan pendudukan Jerman di Belanda dengan mengendarai sepeda dia merekam sebanyak 260 foto dengan kamera yang disembunyikannya pada tas sepedanya. Dan pada tahun 1947, karena keinginan untuk bertualangan (avontur), dia menuju ke Indonesia.
Charles Breijer benar-benar bisa menangkap getar-getar nadi kehidupan rakyat Indonesia pada saat itu. Dia berkelana hampir ke seluruh pelosok Indonesia, di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali. Karena kehidupan yang serba susah di masa itu, dia mengabadikan pengemis dengan baju compang-camping duduk bersimpuh di samping bayinya yang terlelap tidur. Ada pula foto seorang ibu berkebaya yang sedang menjahit dengan mesin jahit engkol disaksikan oleh putri remajanya. Juga banyak foto pemandangan sawah dengan petani yang sedang membajak sawah dengan kerbaunya berlatar belakang gunung.
Yang menarik perhatian saya adalah foto tokoh-tokoh Indonesia yang diabadikan dalam kesehariannya. Ada foto Haji Agus Salim yang pada masa itu menjabat sebagai menteri luar negeri yang sedang bermain kartu. Ada juga foto penyair Chairil Anwar yang sedang memberikan penjelasan kepada sejumlah hadirin orang Belanda pada pameran lukisan. Saya tertarik, karena foto yang selama ini dapat kita lihat cuma pasfoto Chairil Anwar yang sedang berpose merokok dengan pipi cekung dan mata sayu. Di foto yang satu ini, dia nampaknya masih jauh lebih segar dan belum digerogoti oleh penyakit tuberkulosis. Ada pula foto-foto pelukis kondang Indonesia, seperti Mochtar Apin, Henk Ngantung, dan Baharuddin M.S. Terus terang baru sekarang saya mengetahui tampang mereka, meskipun namanya sudah saya pelajari waktu saya di sekolah lanjutan. Misalnya, sebutan pelopor Angkatan 45 yang disandangkan kepada Chairil Anwar, Mochtar Apin dan Asrul Sani.
Berbicara soal Chairil Anwar, saya teringat dengan sanjaknya ’Tjerita Boeat Dien Tamaela’ yang pada bait pertamanya berbunyi : Beta Pattiradjawane - Jang didjaga datoe-datoe - Tjoema satoe. Dahulu waktu duduk di bangku SMP saya benar-benar buta dengan penyebutan Dien Tamaela dan Pattirajawane ini. Saya hanya berpikir mungkin ini tokoh khayalan Chairil Anwar belaka. Ternyata tidaklah begitu kenyataannya. Dien Tamaela adalah gadis manis Ambon yang pernah singgah di hati sang penyair itu dan pertama kali dikenalnya di dalam kereta api yang menuju ke Yogyakarta. Berkali-kali Chairil Anwar menyambangi Dien, namun keluarganya yang bergelar Pattirajawane kurang berkenan dengan kehadiran Chairil Anwar yang seniman nyentrik ini. Oleh karenanya, sanjak yang ditulisnya itu bernada kemarahan atas penolakan yang diterimanya. Dien Tamalea akhirnya juga mati muda karena tuberkulosis dan disusul oleh Chairil Anwar setahun kemudian karena penyakit yang sama pada usia 28 tahun.
Saya perlu kembali lagi pada topik tulisan ini yaitu mengenai Charles Breijer. Dia ternyata ’dipakai’ oleh pemerintah Indonesia untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa resmi sampai tahun 1953. Ada foto rekaman perundingan di Kaliurang, di mana hadir di situ Pangeran Hamid, Sultan Hamengku Buwono IX, ada foto parade tentara TNI di depan Istana Yogyakarta dan sebagainya. Kiranya kita perlu memberikan penghargaan atas jerih payah seorang fotografer Belanda yang baru meninggal dunia beberapa bulan berselang dengan mengenangnya.
Gustaaf Kusno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar