Menyangkut asal mula nama Krakatau pada gunung api itu, sementara ini beberapa ahli memperkirakan dari berbagai kemungkinan. Seperti diberitakan Kompas.com Minggu 11 Desember 2011 di http://regional.kompas.com/read/2011/12/11/22085850/Karkata.Kekatu.hingga.Kagak.Tau
“Suryadi (2009) menyebutkan, setidaknya ada tiga versi asal mula nama Krakatau. Pertama dari bahasa Sanskerta, karkataka, karkata, atau karka, yang artinya ‘kepiting’ atau ‘lobster’. Kedua, penamaan itu diambil dari bunyi mirip suara beo putih yang pernah menghuni daerah itu. Ketiga, dari kosakata bahasa Melayu, kelakatu, yang berarti ’semut bersayap putih.
Selain itu, menurut Suryadi, ada juga cerita yang menyatakan tentang nama pulau itu muncul akibat sebuah kekeliruan berbahasa. Disebutkan bahwa ketika seorang kapten kapal bertanya kepada penduduk asli tentang nama pulau gunung api, yang disebut belakangan menjawab kagak tau, yaitu jargon dalam bahasa Betawi yang berarti ’saya tidak tahu’.” (Kompas.com, 11/12/2011).
Kalau saya analisa perkiraan di atas, mungkin ada benarnya dan mungkin belum tentu benar. Saat saya menganalisa pada kemungkinan asal mula Krakatau dari kalakatu yang berarti semut berwarna putih dalam kosakata bahasa Melayu, saya malah jadi berpikir lain dan mempunyai perkiraan sendiri.
Kalakatu memang dikenal sebagai sejenis semut atau serangga yang bersayap di daerah Minangkabau Sumatera Barat. Kalakatu ini lebih mirip dengan rayap atau laron sebagai bagian dari koloni rayap yang biasanya suka terbang pada awal musim hujan.
Maka dari itu, analisa saya sepertinya kalakatu tidak terlalu berhubungan erat dengan lokasi sebuah gunung api, dimana serangga tersebut biasanya juga tersebar rata di seluruh dunia. Terutama di daerah yang iklimnya lembab dan tropis. Intinya tidak hanya di gunung api (Krakatau) itu saja serangga jenis rayap, laron dan semut bersayap putih (kalikatu) tersebut bisa hidup dan berkembang biak.
Berangkat dari analisa di atas, saya sempat terpikir. Jangan-jangan asal mula nama gunung Krakatau diambil dari nama sebuah pohon yang biasanya tumbuh subur di daerah tropis. Pohon itu bernama Meranti yang dalam bahasa Minang juga disebut pohon Madang dan atau pohon Karatau. Madang dan Karatau ini adalah tutur bahasa orang tua-tua minang saisuak (jaman dulu).
Pengucapan kosakata madang dan karatau ini sebenarnya masih tetap awet atau dilestarikan sampai sekarang. Itu bisa dibuktikan dari beberapa pantun yang masih sering diucapkan oleh orang Minang. Seperti pantun yang saya kutip di Cimbuak.net salah satu situs online untuk bergurau atau media silaturahmi orang Minang. Pantun ini lengkap dengan arti dan tafsir sampiran seperti di bawah ini.
Tafsir sampiran :
Karatau madang dihulu, babuah babungo balun. Karatau adalah nama jenis kayu madang (meranti), yang cukup baik mutunya. Kayu ini tumbuah disebelah hulu sungai, masih muda, belum berbuah dan belum berbunga.” (Cimbuak.net)
Dari analisa dan bukti-bukti sejarah yang saya coba kemukakan di atas, maka bisa saja di lokasi gunung yang sekarang dikenal dengan nama Krakatau tersebut, dahulunya mungkin terkenal atau dikenal dengan hutan yang dipenuhi atau ditumbuhi banyak pohon Meranti.
Yang mana hutan Meranti di gunung api tersebut, lebih lazim dan lebih terbiasa diucapkan oleh orang Minang yang kebetulan dari dulu suka merantau, dengan sebutan hutan Madang atau hutan Karatau. Maka mungkin saja setelah itu, akhirnya gunung api tersebut jadi terbiasa disebut dengan hutan Karatau atau hutan gunung Karatau. Namun karena mungkin sering terjadi kekeliruan berbahasa di tengah masyarakat, akhirnya ucapan Karatau tersebut berubah menjadi Krakatau.
Bagaimana menurut pendapat Anda?
referensi dari: Kompas.com dan Cimbuak.net
Andi M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar