Minggu, 04 Desember 2011

Tanah Papua yang Kian Membara

‘Bara Papua’ (akan) kian membara karena sudut pandang yang berbeda dalam memandang pesoalan di Tanah Papua. Penembakan dan kekerasan terus terjadi. Friksi horizontal, al. dipicu hasil pemilukada pun memakan korban jiwa.

Di satu pihak Jakarta mengatakan Rakyat Papua masuk ke pangkuan Ibu Pertiwi dengan patokan tanggal 15 Mei 1962, sedangkan ’rakyat’ Papua merasa mereka dianeksas (disatukan secara).

Upaya mengembalikan Irian Barat ke Indonesia bermula dari pidato Presiden Soekarno di Yogyakarta (19 Desember 1961) yang mencanangkanTri Komando Rakyat (Trikora), yaitu:

1) Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda kolonial.
2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Tahun 1969 diselenggarakan pula Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat. Hasil Peprea rakyat Irian Barat tetap menghendaki sebagai bagian dari wilayah RI.

Ketika masuk ke RI dikenal sebagai Irian Barat yang kemudian diganti menjadi Papua. Kemudian dimekarkan menjadi Prov Papua dan Prov Papua Barat.

Perbedaan sudut pandang inilah yang memicu konflik di Tanah Papua. Celakanya, Jakarta seakan tidak ’mendengar’ perbedaan sudut pandang itu.

Padahal, Aceh pun ’bergolak’ karena Tanah Rencong dianggap bukan bekas jajahan kolonial Belanda karena secara de facto tidak pernah dijajah Belanda.

Terkait dengan perbedaan sudut pandang di Aceh, Jakarta memberikan keistimewaan kepada Aceh yaitu: diberikan izin menerapkan syariat Islam, ada partai lokal dan dewan perwakilan rakyat lokal. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi partai.

Sayang, terhadap Tanah Papua tidak dilakukan keistimewaan, tapi diberikan otonomi khusus (Otsus) yang wujudnya adalah pengucuran dana dengan dalih pembangunan.

Padahal, ’rakyat’ Papua tidak mengharapkan Otsus. Bahkan, Otsus secara tegas ditolak oleh majelis rakyat Papua.

Selain pengucuran dana Otsus juga memberikan ruang untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), tapi tidak ada ruang untuk mendirikan partai lokal. Jika ada ruang untuk partai lokal OPM (Organisasi Papua Merdeka) diharap berganti nama dan memakai bendara ’Bintang Kejora’ sebagai bendera Partai.

’Perpecahan’ di Tanah Papua mulai menyeruak yang ditandai dengan pemekaran wilayah yaitu Prov Papua Barat. Belakangan ada pula wacana untuk membentuk Prov Papua Tenggara di Merauke.

Dalam ”Buku Pintar Seri Senior” (Cet. 35, Februari 2004, Pustaka Warga Negara, Jakarta), disebutkan ada Papua Barat dengan ibukota Manokwari (berdiri 4/10/1999 berdasarkan UU No 45/1999), Papua Tengah dengan ibukota Timika (berdiri 4/10/1999 berdasarkan UU No 45/1999), dan Papua Timur dengan ibukota Jayapura (berdiri 10/0/1969 berdasarkan UU No. 12/1969 dan UU No 45/1999).

Rakyat Papua menjadi ’objek eksploitasi’ Jakarta dan Papua sendiri. Rakyat menuntut tanggung jawab ’Pusat’ sehingga mengabaikan tanggung jawab daerah. Padahal, sejak ada otonomi daerah, di Papua diperkuat pula dengan Otsus, roda pembangunan ada di tangah pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.

Sayang, rakyat digiring agar melihat keselahan ada di ’pusat’. Padahal, penghambuaran dana APBD terus terjadi, misalnya, untuk membiayai klub-klub sepak bola yang bertebaran di kabupaten dan kota di Tanah Papua. Dana untuk klub bola ini belasan sampai puluhan miliar rupiah.

Pada waktu yang sama banyak penduduk Papua yang menderita karena berbagai penyakit, terutama malaria, TB dan HIV/AIDS.

Pemerintah-pemerintah lokal di Tanah Papua bisa bernapas lega karena sekarang masih ada dana berupa ’sedekah’ dari donor asing untuk penanggulangan HIV/AIDS, mulai dari program pencegahan sampai pembelian obat antiretroviral (ARV).

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS yang menembus angka 10.000. Harga obat ARV Rp 360.000/bulan. Maka, dengan 10.000 kasus diperlukan dana untuk membeli obat ARV saja Rp 3,6 miliar/bulan. Ini belum termasuk harga obat-obatan dan perawatan jika ada yang sakit di masa AIDS.

Jika Tanah Papua terus bergolak dan dana Otsus dan APBD dipakai untuk keperluan di luar kesejahteraan pendudu, maka kehancuran akan mendera rakyat Papua. Jika orang Jawa, Bugis, Batak, dll. yang ada di Papua mati karena penyakit terkait AIDS, itu tidak berita buruk karena di P. Jawa masih puluhan juta orang Jawa. Di Sulsel masih ada jutaan orang Bugis. Di Tapanuli masih ada ratusan ribu orang Batak.

Kondisi itulah yang luput dari perhatian elit di Tanah Papua. Padahal, sudah ada pengalaman buruk yaitu sebuah suku (Marind) di Merauke nyaris punah karena penyakt. Untunglah ada misionaris Katolik yang menanganinya sehingga suku itu tidak punah

Penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua pun tidak dilakukan dengan konkret. Pendeta pun menentang sosialisasi kondom tapi tidak memberikan cara penanggulangan yang konkret.

Belakangan muncul pula wacana sirkumsisi (sunat) sebagai langkah untuk menanggulangi HIV/AIDS. Padahal, sunat bukan mencegah penularan HIV tapi hanya menurunkan risiko

Jika Jakarta melihat Tanah Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sudah saatnya dilakukan dialog ’meja bundar’

Kalau ’pergolakan’ di Tanah Papua terus berlanjut dan hanya diatasi secara politis dan keamanan, maka persoalan tidak akan pernah selesai. Rakyat di Tanah Papua akan terus menderita, sedangkan pejabat dan elite di sana ’berdendang ria’ menikmati kehidupan pada kedudukannya.

Syaiful W. Harahap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar