Tiba hari 4 Desember, aktivitas masyarakat dihentikan sementara, terutama pada jam 08.00 sampai ba’da dhuhur, jalan-jalan terlihat sepi, tidak ada lalu lalang kenderaan seperti hari-hari biasa. Namun, keheningan pecah jika prajurit TNI masuk kampung menggelar patroli, harap-harap cemas datang menghantui setiap qalbu warga kampung, pertanyaan utama pun muncul dalam hati mereka, apa akan terjadi perang? Tidak hanya kehadiran TNI, munculnya para anggota GAM pun akan menimbulkan kecemasan dalam hati warga kampung, pertanyaan yang sama juga muncul, apakah akan terjadi kontak tembak dengan TNI?
Alunan bacaan yaasin menembus keheningan jalan, mengisi relung-relung hati yang harap-cemas, tua-muda larut dalam lantunan kalam ilahi, hari itu di setiap kampung hanya terdengar bacaan yaasin, damainya hati saat itu. Namun, peristiwa seperti ini, seingat saya hanya sekali dilakukan oleh masyarakat gampong saya kurun waktu antara tahun 1999 - 2004. Sisanya, jika tiba 4 Desember hanya menjadi buah bibir masyarakat gampong dan pertanyaan dimana digelar milad GAM kali ini? Hemat saya, kala itu GAM telah menguasai masyarakat dan menguasai kondisi politik. GAM sudah mampu mengatur irama masyarakat, kata-kata simpati dan sanjungan pun keluar memuji keberhasilan GAM.
Saya teringat tahun 1999, saat saya mengikuti MTQ kabupaten Pidie yang dilaksanakan di Blang Paseh kota Sigli, pada saat pembukaan hanya dikibarkan bendera MTQ dan dinyayikan mars musabaqah, sedangkan lagu Indonesia raya dan pengibaran bendera merah-putih ditiadakan, meski pembukaan dihadiri oleh pejabat pemerintah baik sipil dan militer.
Benar kata orang bahwa mata uroe sigoe sahoe, lambat laun eksistensi GAM mulai meredup seiring berjalannya waktu, saat Abdullah Syafii masih memimpin pasukan GAM terlihat kedisiplinan dan keteraturan dalam tubuh GAM, bahkan anak-anak saat itu bercita-cita ingin menjadi pasukan GAM. Demikian salutnya masyarakat kala itu kepada Tengku Abdullah Syafii yang lazim dikenal dengan sapaan Tengku Lah.
Sampai saat ini saya masih terngiang pidato salah seorang juru bicara GAM di kampung saya tahun 2002, menurut beliau bahwa tujuan perjuangan GAM adalah untuk peuselamat bansa donya-akhirat. Perjuangan untuk melepaskan bangsa Aceh dari kungkungan penjajahan, bahkan perjuangan melepaskan bangsa Aceh dari jeratan api neraka kelak. Kala itu, saya benar-benar tertekun dengan kalimat yang beliau utarakan, apalagi saat itu saya masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Terbayang dalam pikiran saya, jika Aceh merdeka saya pasti bisa bersekolah ke luar negeri, menguasai bahasa Inggris dan bahasa Arab dengan fasih, pikiran saya terus membayangkan hal-hal indah jika Aceh merdeka. Lebih jauh saya membayangkan kehidupan masyarakat yang aman dan tentram serta taat kepada Allah, membayangkan masyarakat yang baldatun tayyibatun warabbun ghafur.
Namun, pergantian waktu telah mengubah segalanya, bahkan mengubah hal-hal yang sangat prinsipil dalam tubuh GAM, kala itu semua penceramah GAM selalu mengatakan bahwa merdeka adalah harga mati, apalagi mereka menggandengnya dengan semboyan hudep saree mati sadjan, sikrek kaphan si on keurenda. Melihat perkembangan, hati saya pun kembali bertanya, bagaimana sekarang usaha menyelamatkan bangsa dunia-akhirat, mana buktinya mengubah kehidupan masyarakat menuju ridha Allah seperti saat Iskandar Muda dulu, saya tidak menemukan jawabannya.
Sampai saat ini hati saya masih terus bertanya, mengapa kondisi sekarang berubah, apa yang salah dengan perjuangan GAM, apa mungkin Allah tidak meridhai perjuangan mereka. Itulah pertanyaan yang sering muncul dalam benak saya. Betapa tidak, sebab saya tahu bahwa perjuangan untuk mengubah masyarakat taat kepada Allah merupakan perjuangan mulia dan dianjurkan syara’. Namun, mengapa perjuangan mulia itu di tengah jalan sirna bahkan hilang ditelan zaman, hilang tanpa bekas. Apalagi saya melihat ada anggota GAM yang kerjanya mabok ganja, bahkan mereka melawan jika ada yang melarang, masyaallah!
Pasca tsunami, 4 Desember telah kalah tenar oleh 26 Desember. Dahsyatnya tsunami telah mengalahkan dahsyatnya semangat pasukan GAM yang dulu pernah membara, bara api dulu padam oleh dahsyatnya tsunami, bahkan padam oleh gelamornya berkah pasca tsunami. Saya menyadari itulah makhluk yang bersifat bahru, sesuai yang diajarakan dalam ilmu mantiq bahwa al ‘alam mutaghayyir, al mutaghayyir hadist, bahwa manusia (alam) berubah-ubah, perubahan itu wajar karena manusia adalah bahru (makhluk). Singkatnya, 4 Desember telah menjadi kenangan yang menyisakan catatan dan renungan.
Tulisan singkat ini tidak untuk mengusik siapa pun, tulisan ini merupakan isi hati nurani sebagai masyarakat Aceh yang dulunya punya harapan akan kebaikan negeri ini, harapan akan terwujud masyarakat yang taat kepada Allah. Tulisan ini sengaja saya tulis pada malam 4 Desember sebagai kenangan bahwa saya pernah harap-cemas kala datangnya tanggal ini. Terus terang, saat saya ikut membaca yaasin di meunasah kala itu, saya berdo’a bahwa dengan berkat yaasin wujudkanlah ya Allah masyarakat Aceh yang taat kepada-MU.
Tulisan ini sebagai apresiasi bagi siapa pun yang berusaha mewujudkan masyarakat yang taat kepada Allah, dan semua pasti berharap bahwa usaha itu akan terwujud, apalagi gendang syariat Islam telah ditabuh satu dasawarsa silam. Allahumma ij’al baldatana ya Allah baldatan tayyibatan warabban ghafura. Allahumma ighfirlana.
Zarkasyi Yusuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar