Minggu, 04 Desember 2011

Jejak “Putroe Ijoe” di Gampong Pande

Illustrasi
Hingga kini belum ada fakta sejarah yang menjelaskan siapa Putroe Ijoe di Kampung Pande. Peran sejarawan dibutuhkan.


PULUHAN batu nisan kuno itu terletak tak beraturan di lahan dengan luas sekitar dua puluh meter kali enam meter. Potongan rerumputan hijau dan kekuning-kuningan terlihat berserakan. Dikelilingi pagar dari besi putih setinggi satu meter, nyaris tak ada daun pintu di gerbangnya. Sementara plang nama begitu mencolok bertuliskan: Makam Putroe Ijoe.


Senin pagi pekan lalu, Zaini terlihat sibuk membersihkan rerumputan yang tumbuh di areal makam Putroe Ijoe.Sejak enam bulan lalu, dia memangditunjuk sebagai juru pelihara (kunci) makam Putroe Ijoe oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Sumut – Aceh, dengan upah Rp 600 ribu per bulan.


Lazimnya penjaga makam, tugas Zaini merawat komplek, kadang ia harus menjelaskan sejarah Putroe Ijoe kepada pengunjung yang ia sendiri tidak tahu persis siapa Putroe Ijoe tersebut.“Saya tidak tahu pasti bagaimana sejarah Putroe Ijoe. Tugas saya merawat makam ini,” ujar lelaki yang tinggal di Kampong Pandesejak 1982.



Makam Putroe Ijoe terletak di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja Kota Banda Aceh. Selain makam Putroe Ijoe,di sekitar komplek makam juga terdapat makam Tuanku Dikandang.Konon, pada masa Sultan Iskandar Muda, daerah ini merupakan komplek keluarga kerajaan.Sayang, hingga kini berbagai cerita tentang Putroe Ijoe terus berkembang di masyarakat, namun belum ada fakta sejarah yang menceritakan secara detail. Setidaknya, itulah pendapat Nurdin, seorang pakar sejarah yang juga Kepala Museum Aceh kepada MODUS ACEH saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis pekan lalu.


Dari penulusuran Nurdin, memang ada hikayat yang menceritakan Putroe Ijoe. Syahdan, merupakan anak dari Raja Deli yang kecantikannya tersohor sampaike Melaka, Malaysia serta Pulau Jawa. Putroe Ijoe mempunyai dua kakak laki-laki, yang konon satunya menjelma menjadi naga. Sementara satu lagi menjadi meriam. Saat itu, kerajaan Aceh dipimpinan Sultan Iskandar Muda.


Nah, mendengar kabar itu raja Aceh mengirimkan utusan untuk meminang Putroe Ijoe sebagai istrinya. Namun Raja Deli menolak permintaan tersebut. Penolakan itu justru menjadi ‘penghinaan’ bagi Raja Aceh yang kemudian bertindak dengan cara memerangi kerajaan Deli.


Pada invansi pertama, prajurit kerajaan Aceh mampu dipukul mundur. Setelah itu prajurit Aceh memakai siasat dengan menembakkan meriam berisi uang emas ke dalam pekarangan Istana Deli. Melihat koin emas bertebaran, prajurit Deli sibuk mengumpulkannya. Dan, saat itulah prajurit Aceh merangsek ke istana dan membawa lari sang putri.“ Sebelum lari, kakak dari putri berwasiat bila ia ditawan minta dimasukkan ke dalam peti kaca. Sesampai di Kuala Aceh suruh mereka lemparkan jagung sangrai dan telur ke laut. Maka aku akan muncul,” tutur Nurdin berkisah.


Raja Aceh mengikuti permintaan putri. Begitu sampai di Kuala, mereka menyambut dengan taburan jagung sangrai. Tiba-tiba dari dalam laut muncullah seekor naga dan mengambil peti kaca berisi putri. “Sebagian masyarakat saat ini menyebutkan Putroe (Putri) Ijoe menjadi penghuni di Aneuk Laot Sabang,” tambahnya.



Secara logika, bila benar Putroe Ijoe dibawa oleh naga ke dasar laut, lantas Putroe Ijoe yang makamnya di Kampung Pande itu siapa?“Tidak ada sejarawan yang menulis tentang itu,” jawab Nurdin.


Menurutnya, sejarah Putroe Ijoe baru bisa disimpulkan dengan tiga syarat.Pertama, ada teks tertulis yang berbicara tentang faktadan lisan.Kedua,inkripsi pada batu nisan dan ketiga ada benda yang dulunya pernah dimiliki Putroe Ijoe. “Pada kasus ini belum lengkap, mungkin secara lisan sudah. Tetapi inkripsi dan temuan benda belum ada,” ungkap Nurdin.


Pengakuan serupa juga disampaikan Dahlia, Plt Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala(BP3) saat ditemui Rabu pekan lalu di Lhoknga, Aceh Besar. “Banyak sekali julukan Putroe Ijoe di Aceh. Jadi, siapa sebenarnya mereka kita tidak tahu,” kata perempuan asal Montasik ini.


Masih kata Dahlia. “Setahu saya sejarah Putroe Ijoe terdapat di Pidie, Takengon, Mata Ie dan Kampung Pande. Namun dari keempat objek tersebut tak satupun yang bisa dijelaskan dengan runut asal muasalnya,” sebut Dahlia. Itu disebabkan, salah satu kebiasaan orang Aceh menyebut seseorang dengan warna kulit. “Soalnya orang Aceh itu sering memanggil orang sesuai warna kulit. Kalau ada orang terlalu putih, maka dipanggil Si Putih. Mungkin putri ini sangat putih hingga tampak urat kehijauan pada tubuhnya. Maka disebut Putroe Ijoe,” tambah Nurdin.



Menurut Nurdin warna dominan yang dikenal masyarakat Aceh tempo dulu adalah, merah, hijau, hitam putih. “Langit biru kadang disebut Langet Ijoe (langit hijau –-red).Laut biru kadang disebut Laot Ijoe (laut hijau —–red),”jelas Nurdin.


BP3 bekerja sama dengan Meusum Aceh sudah pernah melakukan studi hingga ke Jakarta dan Sumatra Utara. Hasilnya, tidak ditemukan bukti otentik keberadaan Putroe Ijoe di Kampung Pande. Begitupun, pihaknya tetap memelihara makam tersebut layaknya situs sejarah yang lain.


Hingga kini terdapat sekitar 600 cagar budaya di bawah pengawasan BP3. Seperti daerah lain di Indonesia, Aceh terdapat banyak situs makam-makam raja-raja. Makam Putroe Ijoe masih kerap dikunjungi wisatawan baik dari luar maupun dalam negeri. “Di Aceh sangat sedikit sejarawan yang bisa kami rekrut.Kadang terpaksa kita terima lulusan dari Univeritas Indonesia (UI), Univeritas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta,” terang Dahlia.


Faktanya memang demikian. Saat media ini berkunjung ke lokasi makam tadi misalnya, tak ada petugas resmi dari BP3 yang bertindak sebagai juru penerang mengenai sejarah situs tersebut. Papan informasi juga tidak ada. “Padahal program kami tahun ini membuat papan informasi, tapi dana sudah ditahan di Jakarta,” keluh Dahlia.



Menurutnya, dana Rp20 juta untuk program tersebut diblokir oleh Kementerian Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Alasannya, karena BP3 yang baru dibentuk tak ada anggaran maka disubsidi oleh BP3 yang lama. Sementara Pemerintah Kota Banda Aceh punya dana ratusan juta belum tergerak hatinya untuk merawat makam-makam tersebut,”imbuhnya. Dahlia mengeluh anggaran untuk BP3 sangat kecil.Padahal wilayah kerja mereka dari Aceh hingga Sumatera Utara. “Kalau Pemkot Banda Aceh mau bekerja sama, kami siap menyediakan tenaga,” ujarnya.


Saat musibah tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam, makam Putroe Ijoe rusak parah, batu nisan tercerabut. Kemudian Badan Rehabilitasi Rekontruksi (BRR) NAD–Nias, merehab makam tersebut tanpa koordinasi dengan BP3. “Batu nisan mereka atur tidak lagi pada tempat semula,” ungkap Dahlia.


Menurut Dahlia, khususnya Putroe Ijoe kondisi sekarang tidak lagi asli. Peletakan batu nisan tidak pada posisi sebenarnya. Kondisi itu dibiarkan karena belum ada data, foto sebelum tsunami di mana letak batu nisan tersebut. “Saat ini sedang mencari foto-foto kondisi makam sebelum tsunami. Agar nisan itu bisa kami letakkan di posisi awal,” jelasnya. Dia meminta warga yang punya gambar makam sebelum tsunami untuk memberitahu pihaknya.



Begitupun, Dahlia mengatakan jika penelusuran sejarah Putroe Ijoe takjuga berhenti.


“Kalau ada sejarawan yang mau berbagi ilmu kami sangatsenang,” harap Dahlia. Adakah yang tahu tentang sejarah siapa Putroe Ijoe di Kampung Pande? Berbagilah.

Zulkarnaini Masry

Tidak ada komentar:

Posting Komentar