Minggu, 11 Desember 2011

Mengapa ‘Merah Putih’ Tak Dinaikkan Setengah Tiang?

Sepanjang hari 11 Desember 2011 tak terlihat ada kibaran bendera ‘Merah Putih’ setengah tiang di halaman Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Bahkan 5 tiang bendera utama di depan gedung wakil rakyat Sulsel tersebut justru semua kosong melompong dari bendera Merah Putih. Padahal hari ini, merupakan hari peringatan Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan.


1323601670291364791

MonumenPeristiwa Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan di Kota Makassar/Ft:Mahaji Noesa
Di tahun-tahun sebelumnya, dua atau tiga hari sebelum tanggal 11 Desember biasanya ada himbauan atau pengumuman resmi dari pemerintah yang disebarluaskan melalui media massa - suratkabar, radio atau televisi untuk mengibarkan bendera merah putih ’setengah tiang’ memperingati hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa. Tahun ini pengumuman seperti itu tidak terdengar lagi, termasuk di Kota Makassar.



Tak heran jika peringatan hari Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan, 11 Desember 2011, boleh dikatakan hampir semua rumah maupun kantor pemerintah dan swasta khususnya di Kota Makassar tak terlihat mengibarkan bendera merah putih setengah tiang. Tidak lagi seperti suasana tahun-tahun sebelumnya, bendera merah putih berkibar setengah tiang sehari penuh setiap 11 Desember di halaman rumah-rumah penduduk dan perkantoran-perkantoran di Kota Makassar.



13236017911346440792Di Gedung DPRD Provinsi Sulsel tak menaikkan bendera setengah tiang 11 Desember 2011/Ft:Mahaji Noesa




Pengibaran bendera merah putih setengah tiang pada 11 Desember 2011 di Kota Makassar, terlihat cuma dilakukan di Monumen Peristiwa Korban 40.000 Jiwa serta di sejumlah rumah penduduk yang ada di sekitarnya di Kelurahan Timungan Lompoa (sekitar monumen) utara Kota Makassar. Di tengah Kota Makassar, hanya Kantor Polsekta Ujungpandang di Jl.Sultan Hasanuddin yang terlihat menaikkan bendera merah putih setengah tiang pada 11 Desember 2011.



Sejumlah remaja di lokasi empat penjuru mata angin Kota Makassar, ketika ditanya umumnya tidak mengetahui jika tanggal 11 Desember merupakan hari bersejarah. ”Mungkin karena hari ini 11 Desember 2011 bertepatan dengan hari Minggu sehingga kantor-kantor maupun warga ikutan libur tidak menaikkan bendera merah putih setengah tiang,” ujar seorang ibu seenaknya, di sekitar perumahan Taman Monumen Emmy Saelan (Tames), Jl. Monumen Emmy Saelan, berimpit dengan Perumnas di arah timur pusat Kota Makassar.



Selain di gedung DPRD Provinsi Sulsel, juga di Kantor Gubernur Sulsel tak terlihat ada satupun kibaran bendera merah putih setengah tiang pada 11 Desember 2011. Hal sama terlihat terjadi di Gedung DPRD Kota Makassar, dan di Balaikota Makassar. Tiang bendera di kedua perkantoran tersebut justru kosong dari kibaran merah putih di hari Minggu, 11 Desember 2011. Di gubernuran atau rumah jabatan Gubernur Provinsi Sulsel, Jl.Jend.Sudirman, Minggu, 11 Desember 2011, bendera merah putih terlihat dikibarkan tapi tetap satu tiang penuh. Demikian halnya di depan Gedung Veteran RI Granada Jl.WR.Supratman Kota Makassar, bendera tetap dikibarkan satu tiang penuh pada 11 Desember 2011.



13236019651136082710Makam Robert Wolter Mongisidi di TMP Panaikang Makassar latar bendera satu tiang penuh, 11 Desember 2011/Ft:Mahaji Noesa




Bandera merah putih pun tetap dinaikkan satu tiang penuh di tiang bendera Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar, tempat dimana pahlawan nasional Robert Wolter Mongisidi dimakamkan. Pahlawan pemuda asal Sulawesi Utara ini merupakan salah satu tokoh pejuang gigih menantang kehadiran pasukan Nica (Belanda) yang dipimpin Kapten Raymond Paul Pire Westerling di Kota Makassar. Dia termasuk salah satu pejuang Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan yang dihabisi dengan cara ditembak mati.



Peristiwa Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan yang puncaknya terjadi pada 11 Desember 1946 di Kota Makassar, pernah diwacanakan agar dijadikan sebagai Hari Berkabung Nasional. Keinginan penetapannya sebagai Hari Bersejarah Nasional, sekaligus dimaksudkan sebagai salah satu bukti bahwa pascaproklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih harus mengorbankan jiwa raganya untuk melawan penjajah kolonial yang masih berusaha keras merongrong kemerdekaan bangsa Indonesia. Salah satu buktinya adalah Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan.



Tapi kenapa pihak pemerintah dan masyarakat khususnya di Kota Makassar tidak lagi serentak mengibarkan merah putih setengah tiang pada 11 Desember 2011, seperti tahun-tahun sebelumnya? apa yang terjadi?



Tulisan berjudul ‘Mengenang Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulsel’ yang saya tulis Desember 2008 lalu mungkin belum basi untuk kembali disimak-simak, sambil menanti siapa tahu esok ada yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Mengenang ‘Peristiwa Korban 40.000 Jiwa’ di Sulsel




Lebih tiga setengah abad Bumi Pertiwi dicengkram kuku penjajah. Tapi, sepanjang masa itu pula rakyat Sulawesi Selatan (Sulsel) khususnya, bergolak, menentang sekaligus melakukan perlawanan. Berjatuhan korban jiwa maupun harta benda yang tak terbilang jumlahnya. Bahkan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, para pejuang dan rakyat di Sulsel masih harus menyumbangkan jiwa raganya untuk mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan penjajah. Sejarah mencatat, terjadi ‘Peristiwa Korban 40.000 Jiwa’ pascakemerdekaan RI di Sulsel.



Door….door..dorrr! Suara senapan mesin menggelegar membangunkan penduduk di subuh hari. Bersamaan terdengar perintah menghardik kejam dari berbagai arah.



”Bangun, bangun……! Turun …..! Meskipun diliputi rasa takut, dengan terpaksa para penduduk kemudian membuka pintu rumah masing-masing. Dan, di luar rumah mereka telah terkepung pasukan tentara bersenjata dengan bayonet terhunus.




13236021421166896211Bendera setengah tiang dinaikkan di Polsekta Ujungpandang, 11 Desember 2011/Ft:Mahaji Noesa



Penghuni rumah lantas semua diperintahkan keluar, laki-laki maupun perempuan, tua muda, termasuk ibu-ibu yang masih menyusui bayinya. Kemudian mereka digiring secara berombongan ke suatu lapangan dengan todongan moncong-moncong senjata yang siap memuntahkan peluru.



Fajar menyingsing. Tampak, lapangan telah dijejali ribuan penduduk yang digiring dari sejumlah perkampungan. Ketika matahari telah mengguyurkan sinarnya, tangis bayi-bayi yang kepanasan terdengar menyayat pilu. Tapi para orang tua mereka tidak dapat berbuat banyak, kecuali harus pasrah dalam pengawalan ketat pasukan bersenjata.



Suasana menjadi tegang ketika di hadapan penduduk yang berkumpul di lapangan, berdiri seorang komandan militer dikawal sejumlah tentara siap tembak. Si Komandan lantas menyebut satu per satu nama yang terdapat dalam berkas yang dipegangnya.



Penduduk yang namanya sama dengan yang disebutkan diperintahkan tampil ke depan. Dan, door…..dorrrrr………..! Para pengawal komandan serta merta menembaki penduduk tersebut.




JIka awalnya penduduk yang namanya disebutkan diperintahkan satu-satu ke depan, lalu diubah menjadi setiap 5 orang. Menjelang tengah hari, ketika mayat telah bergelimpangan dan lapangan telah berbau amis darah. Mendadak muncul seorang Konsul Tionghoa menghentikan sejenak eksekusi yang dilakukan secara membabi buta terhadap penduduk.



Konsul itu mencari sopirnya yang sampai siang hari belum datang melaksanakan tugasnya. Dia kuatir sopir tersebut ikut digiring ke lapangan tempat pembantaian. Tapi ketika diberi kesempatan mencari, sopir itu tidak ditemukan. Sang Konsul lantas melempar protes cara penembakan terhadap penduduk. ”Cara seperti ini tidak cocok dilakukan, karena di sini banyak penduduk yang namanya sama satu dengan yang lainnya,” katanya.



Dari percakapan konsul dengan komandan pembantaian, kemudian diketahui bahwa nama-nama yang disebutkan diperoleh dari sebuah dokumen yang dicurigai sebagai nama-nama pejuang di Sulsel.



Sepeninggal konsul, penembakan terhadap penduduk terus dilakukan. Hanya caranya, tidak lagi dengan menyebut nama untuk tampil kemudian ditembak. Penduduk yang masih tersisa di lapangan diperintahkan berbaris berurutan lewat di hadapan komandan, penduduk yang tampak ketakutan dicurigai sebagai pejuang dan langsung didor. Dua di antara tiga penduduk yang dijadikan sebagai juru bahasa selama berlangsung aksi penembakan hari itu, akhirnya harus pula rebah bersimbah darah ditembus peluru juru tembak.




Penduduk yang luput dari sasaran penembakan diperintahkan untuk menguburkan mayat yang bergelimpangan. Apabila tak dapat menguburkan keseluruhannya sampai sore hari, mereka juga diancam akan ditembak mati. Dengan ancaman itu, seorang penduduk yang luput dari maut ada yang mampu menguburkan lebih dari 40 mayat dalam tempo sekitar dua jam.



Menjelang malam, masih terdapat puluhan mayat yang tak sempat dikuburkan, penduduk hanya menutupinya dengan daun-daunan.



Demikian ringkasan dari suatu kisah nyata pembantaian yang dilakukan oleh Tentara NICA (Nederlands Indicshe Civil Administration) dibawa komando Kapten Raymon Paul Pire Westerling, suatu hari di bulan Desember 1946 di Kampung Kalukuang, Makassar.



Peristiwa ini merupakan bagian kecil dari keganasan Westerling bersama tentara NICA-nya dalam membantai para pejuang dan rakyat di Sulsel, pascakemerdekaan.



Melakukan Perlawanan




Latar belakang kehadiran kembali tentara NICA - Belanda di Sulsel, setelah tentara Sekutu dinyatakan menang atas Jepang dalam Perang Dunia kedua. Tepatnya, setelah AS di pihak Sekutu berhasil membumihanguskan Kota Hirosima dan Nagasaki, Jepang dengan bom atom dalam bulan Agustus 1945. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh negara-negara Sekutu lainnya untuk kembali menguasai daerah-daerah bekas jajahannya.



Ketika tentara Australia dari pihak Sekutu melakukan pendaratan di Makassar, September 1945, didalamnya ternyata membonceng tentara NICA meski dalam seragam yang sama. Para pejuang prakemerdekaan di daerah ini melihat adanya gelagat licik dari kehadiran mereka. Apalagi kedatangan pasukan asing itu setelah Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Para pejuang bersama rakyat lalu menantang setiap gerakan maupun tindakan dari tentara NICA khususnya, yang secara terang-terangan akan menanamkan kembali kuku penjajahannya.



Di segenap pelosok wilayah Sulsel lalu muncul kelasykaran-kelasykaran rakyat dan pemuda yang secara terorganisir melakukan aksi-aksi perlawanan terhadap tentara NICA. Tersebut nama-nama kelasykaran Harimau Indonesia, KRIS, KRIS MUDA, Lipan Bajeng, dan Laptur di afdeling Makassar. Kelasykaran Gapri 531 dan Kris Muda di afdeling Mandar. Kelasykaran PBAR Bulukumbadan Selayar di afdeling Bantaeng. Kelasykaran PKR di afdeling Luwu. Kelasykaran BPRI dan Ganggawa di afdeling Parepare.




Dilakukan serangan-serangan oleh para pejuang dan rakyat terhadap posisi-posisi tentara NICA di daerah ini. Pertempuran pun berkobar dalam setiap kesempatan. Pemerintah Belanda kemudian mengirimkan bantuan pasukan Corps Spesiale Troepen dipimpin Westerling yang mendarat di Kota Makassar 5 Desember 1946. Kehadirannya dimaksudkan guna melakukan operasi ’sapu bersih’ melumpuhkan gerakan pejuang didukung rakyat yang melakukan perlawanan terhadap tentara NICA di Sulsel.



Dalam komando Westerling aksi tentara NICA makin menjadi. Mereka melakukan operasi sampai di desa-desa mencari pejuang. Membuat kepanikan-kepanikan, seperti melakukan penembakan, perampokan, dan pembakaran rumah-rumah untuk menimbulkan ketakutan agar rakyat tidak membantu gerakan pejuang melawan NICA. Namun demikian, dengan persenjataan terbatas melalui taktik gerilya para pejuang tetap dapat menunjukkan perlawanan hebat.



Westerling berang. Mata-mata ditebar. Tanggal 10 Desember 1946, Westerling dengan pasukannya mulai melakukan aksi membabi-buta, menembaki semua pria dan pemuda yang dicurigai sebagai pejuang ‘Merah-Putih’ di Lariangbangngi, Barabarayya, Maccini Parang, dan beberapa tempat lainnya di Kota Makassar.Hari berikutnya, 11 Desember 1946, Westerling dan anak buahnya bertindak makin ganas. Penduduk dari beberapa tempat di Kota Makassar digiring dan dikumpulkan di sebuah lapangan lalu ditembaki. Hari itulah berlangsung peristiwa pembantaian di Kampung Kalukuang. Bersamaan waktunya, pihak Belanda dengan Stb.1946 No.139 menyatakan mulai berlakunya keadaan perang (S.O.B) di seluruh wilayah Sulsel. Suatu tindakan kesewenangan dilakukan di dalam Negara RI yang telah merdeka.




Ketika Westerling melakukan operasi pembantaian di Makassar, pasukan NICA lainnya bergerak licik melakukan tindakan yang sama brutalnya ke daerah-daerah lainnya di Sulsel. Pihak Markas Daerah Legiun Veteran RI Provinsi Sulsel mencatat, NICA melakukan gerakan-gerakan pembantaian masing-masing, di Kampung Tanjung Bunga, Jongaya (12 Desember 1946). Di bagian utara menuju Maros (16 Desember 1946). Di Polombangkeng, Bontonompo, Palleko, Barombong (19 Desember 1946) Di Kampung Moncong Loe (26 Desember 1946) dan di Jeneponto, Taroang, Arungkeke (30 Desember 1946).



Pembantaian secara biadab terhadap para pejuang dan rakyat di Sulsel dilakukan NICA hingga tahun 1947. Peristiwa yang sempat dicatat, masing-masing:



3 Januari 1947 di Bulukumba.



9 Januari 1947 di Barrang Lompo, Barrang Caddi, dan Tana Keke.



14 Januari 1947 di Parepare, Kampung Kulo, Rappang.



16 Januari 1947 di Barru, dan di Parepere, Bacukiki.




17 Januari 1947 di Takkalasi, Barru.



19 Januari 1947 di Parepare, Suppa, dan Kariango, Pinrang.



20 Januari 1947 di Kampung Majannang.



22 Januari 1947 di Suppa, Pinrang.



23 - 28 Januari 1947 di sepanjang pesisir melalui laut.



1 Pebruari 1947 di Kampung Ballero dan Kualle.




1 Pebruari 1947 di Majene (kini sudah bagian dari Provinsi Sulawesi Barat).



5 Pebruari 1947 di Kampung Galung Lombok, Tinambung (sekarang sudah wilayah Provinsi Sulawesi Barat).



7 Pebruari 1947 di kampung Lisu Tanete, Barru.



Peristiwa Korban 40.000 Jiwa yang diperingati setiap tanggal 11 Desember oleh masyarakat Sulsel, terutama dimaksudkan untuk terus menghidupkan semangat perjuangan, rela berkorban dan pantang menyerah demi keutuhan serta tetap tegaknya bangsa dan Negara RI yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.(Diolah dari berbagai sumber)\
Mahaji Noesa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar