Kamis, 17 November 2011

Waruga, Peti Kubur Batu Dari Kebudayaan Megalitik.

13214497111247476344

Pada tanggal unik 11-11-11 lalu telah diselenggarakan sebuah festival bernama ‘Festival Waruga’ di Desa Sawangan Minahasa. Festival yang terus diupayakan untuk dilaksanakan tiap tahun ini tentu bukan tanpa maksud. Pelaksanaan event-event berbau kebudayaan seperti ini tentu dengan maksud dan tujuan untuk mengangkat dan melestarikan kembali budaya yang mulai dilupakan dan ditinggalkan. Sekaligus juga menggali kembali sejarah dari kebudayaan leluhur di Minahasa itu sendiri. Pada festival yang akan berlangsung sampai tanggal 16 November itu menampilkan beberapa lomba tradisional seperti, tumbu padi, tapis beras, tarian tradisional, napak tilas, dan masih banyak lagi.


Lalu kenapa memakai nama festival waruga? Kali ini saya tidak hendak membahas tentang festival itu, tapi tentang waruga-nya, atau lebih tepat tentang ‘wisata waruga’. Saya sudah beberapa kali mengunjungi lokasi-lokasi di mana waruga ini berada. Dan selalu saja ada sensasi tersendiri menikmati objek-objek wisata itu.



Apabila Anda menyempatkan diri mengunjungi tempat-tempat yang memiliki kebudayaan megalit, pastilah akan banyak kesan dan keasyikan tersendiri yang akan Anda rasakan. Bagi para peminat dan pemerhati usaha “wisata megalit” sudah barang tentu tempat-tempat yang memiliki situs-situs seperti itu akan menjadi lahan subur paket wisata yang berdaya jual tinggi.



13214497921924187091Di jantungnya Minahasa sesungguhnya adalah termasuk salah satu gudang temuan megalit tersebut. Di sinilah terpampang catatan sejarah yang panjang peninggalan dari kebudayaan megalit. Beberapa di antaranya adalah waruga (peti kubur batu), watu-tumotowa (menhir), batu dakon, altar batu, watu pinawetengan (batu bergores), arca menhir, dan lesung batu. Salah satu peninggalan megalit yang begitu terkenal di Minahasa adalah waruga.




Nah, waruga ini bukanlah sembarang peti kubur. Waruga bukan hanya sebuah peti kubur biasa, tapi memiliki beberapa keistimewaan. Peti kubur ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian bawah (badan) dan bagian atas (tutup). Tiap-tiap bagian terbuat dari sebuah batu utuh (monolith). Biasanya berbentuk seperti kubus pada bagian badannya. Di dalam bagian badan waruga terdapat rongga sebagai kubur jasad orang yang sudah meninggal tersebut. Kemudian posisi mayat di dalam peti kubur itu adalah dalam keadaan jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim ibu sebelum dilahirkan. Kalau jasadnya laki-laki, tangan berada dalam posisi terkunci (kunci tangan) dan untuk perempuan adalah mengepalkan tangan.


13214498311047620468


Posisi mayat tersebut sebenarnya erat terkait dengan filosofi manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan sudah seharusnyalah mengakhiri hidup dengan posisi yang sama, yaitu jongkok. Filosofi ini dikenal dengan sebutan ‘whom’. Setiap waruga biasanya adalah untuk satu keluarga yang kait-mengkait. Tapi ada juga waruga yang dipersiapkan untuk mereka yang tidak sekeluarga namun memiliki kesamaan profesi sebelum mereka meninggal dunia.



Tak jarang pula di dalam waruga ditemui tulang-tulang atau rangka manusia yang bercampur aduk dengan benda-benda lain seperti keramik China, perhiasan, benda-benda dari logam, dan masih banyak lagi. Ketika meninggal dunia, maka barang-barang kesayangan orang tersebut disertakan dalam kubur sebagai ‘bekal kubur’.



Pada bagian tutup (cungkup batu) sering berukir atau berpahatkan keterangan profesi atau keterangan lainnya tentang jasad di dalamnya. Misalnya, jika ditemui tutup berukirkan binatang maka artinya profesi orang tersebut sebelum meninggal adalah pemburu. Ada juga cungkup batu dengan motif perempuan yang sedang melahirkan, itu menandakan mayat yang dikubur di dalam waruga itu adalah seorang dukun beranak. Kalau pada cungkup batu terlihat ukiran beberapa orang berkerumun secara bersama, maka berarti yang dikubur dalam waruga itu adalah satu keluarga utuh, mereka meninggal kemudian dikuburkan satu per satu.




Waruga itu kebanyakan berukuran 50 cm sampai satu meter dengan tinggi sekitar satu meter juga. Tapi ada juga waruga dengan tinggi yang mencapai 3 meter. Kalau sekiranya kita pernah mendengar kisah-kisah jaman dulu di Minahasa, maka banyak ditemui cerita tentang kehebatan dan kesaktian orang-orang kuno Minahasa. Mereka yang hidup di zaman megalitik, mampu memikul waruga yang berat sekalipun. Caranya mereka meletakan cungkup penutup waruga di atas kepala, dan tempat mayat (bagian badan) dari waruga dijinjing pakai tangan. Sungguh luar biasa kekuatan yang mereka miliki.



Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga berasal dari dua kata: Wale dan Maruga. Wale artinya rumah, maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi abu. Menurut beberapa catatan, ada sekitar 1000-1500 waruga yang tersebar di Minahasa. Kalau Anda ingin mengunjungi tempat-tempat yang memiliki waruga, cobalah untuk tidak melewatkan Desa Sawangan, kemudian di Desa Airmadidi Bawah, Kawangkoan, Kolongan, Maumbi, Kuwil, Kokoleh (Likupang), Matungkas, Paniki, Kasar, Tumaluntung, Kema, Kawangkoan, Sonder, Tumpaan, Tombariri, Tomohon, dan masih banyak lagi. ‘Wisata Waruga’ memang memiliki seninya tersendiri. Kita belajar banyak tentang kehidupan di zaman megalitik tersebut, dan siapa tahu saja ada yang berminat untuk suatu ketika nanti ketika ajal menjemput minta dikuburkan dalam waruga? (HS)


Heidy Sengkey

Tidak ada komentar:

Posting Komentar