Saat saya akan menuliskan lagi kiprah beliau atas negeri ini, seorang kawan berujar, Dia itu kan pemberontak? pemberontak ko jadi pahlawan? Ah, ya mungkin kiprahnya dalam pemberontakan terhadap pemerintahan Soekarno, dengan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pada tahun 1958-1962, menjadi alasan lambatnya penganugerahan gelar Pahlawan buat Kuding.
Perlawanannya terhadap otoritarianisme yang dijalankan Soekarno, juga membuat namanya seolah hilang dari sejarah bangsa. Lima tahun lalu, dalam sebuah obrolan kecil di kampus IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, pernah dibahas tentang kiprah seorang putera Banten yang pernah jadi Presiden. Dan diskusi itu terhenti, lantaran tak seorang pun tak kenal sejarah lengkap Syafrudin. Saat itu, yang ramai diperbincangkan adalah Tan Malaka, atau Multatuli. Ia hanya dikenal sebagai pemberontak yang memimpin Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Nama Syafrudin Prawira Negara memang sempat hilang dari peredaran. Tak banyak buku yang membahas detail pemikiran dan kepemimpinannya. Kiprah tokoh Islam yang dilahirkan di Anyer, Serang,Banten , 28 Februari 1911 itu baru terdengar pada tiga tahun terakhir. Tapi bukan di Banten. Syafrudin Prawira Negara ramai dibicarakan oleh berbagai kelompok diskusi di Jakarta, Bandung, dan Bukit Tinggi Sumatera Barat. Putera Banten yang pernah menjadi Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI ) itu kemudian diajukan untuk mendapat gelar Pahlawan oleh Pemprov Sumatera Barat, dan Pemprov jawa Barat. Para Akademisi dan kalangan Pemerintahan Provinsi Banten kalah start dalam wacana tersebut. Mungkin mereka lupa terhadap sejarah perjuangan putera daerahnya.
Kini Kuding, telah jadi Pahlawan. Gelar kepahlawanan Kuding direkomendasikan oleh Pemprov Banten pada Mei lalu. Pemerintah Sumbar, juga mengajukan hal sama. Karena berjasa saat lahirnya Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Meskipun keturunan Minang, Syafruddin Prawiranegara lahir di Banten.
Gelar kepahlawanan bagi pak Syaf juga akan diajukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Mengingat, saat Pak Syaff di lahirkan di Anyer, Anyer masih masuk wilayah karesidenan Jawa Barat.
Sejarawan Banten Nadjmudin Busro mengamini pernyataan Anwar. Menurutnya, gelar kepahlawanan bagi Pak Syaf juga harus diiringi pengakuan pemerintah bahwa Pak Syaf adalah Presiden ke dua RI. “Karena faktanya, Pak Syaf memang menjadi Presiden RI selama enam bulan 12 hari. Tanpa kepemimpinan beliau saat itu, RI akan jatuh ke tangan Belanda lagi,” paparnya.
Menurut Nadjmudin, di masa kepresidenan Syafrudin terjadi perebutan wilayah jawa antara Belanda dan Tentara Republik Indonesia (TRI) yang dipimpin oleh Jendral Soedirman. Saat itu, jika Pak Syaf tidak membentuk pemerintahan darurat RI (PDRI) maka yang terjadi adalah perang antar pemerintah Belanda dengan pemberontak. Tapi karena ada PDRI, maka perang yang terjadi adalah perang antara Negara. “Dan kita warga Banten mesti Bangga bahwa ada putera kelahiran Banten yang pernah menjadi Presiden RI. Meskipun saat itu, beliau (Pak Syaf,red) menyebutkan diri sebagai Ketua PDRI, tetapi mandate yang disampaikan Soekarno saat itu menyatakan bahwa secara defacto Pak Syaf adalah Presiden RI di masa darurat itu,” tandasnya.
Nadjmudin mengulas, di masa pemerintahan Syafrudin Prawiranegara juga terjadi perundingan Roem-Roeyen. Delegasi RI saat itu dipimpin oleh Mr. Roem. Dan penunjukan MR Roem sebagai pemimpin delegasi dalam perundingan tersebut dilakukan oleh Soekarno dari dalam tahanan. “Meski saat itu penunjukan dilakukan oleh Soekarno, Pak Syaf sebagai pengendali pemerintahan saat itu tidak protes. Ia mendukung langkah Soekarno itu. Dan saat itu orang Belanda sempat mengejek pemerintah RI. Bahwa pemerintah RI dipimpin dari hutan (terasingcdari ibukota,red). Ejekan itu dijawab Pak Syaf, bahwa Indonesia memimpin bangsanya dari hutan yang masih milik Indonesia, sedangkan Belanda saat diserang oleh Hitler, pemerintahnya lari ke London.”
Wakil Ketua MPRRI A.M Fatwa, usai membuka acara peringatan 1 Abad Syafrudin Prawira Negara di Hotel Ratu Bidakara beberapa waktu lalu, mengkritik sikap apatis Pemprov Banten terhadap sejarah perjuangan putera daerahnya. “ Tokoh yang dikenal oleh orang dekatnya dengan nama Udin ini memang dilupakan sejarah. Padahal Kontribusi Udin sang putera Banten cukup besar terhadap negara dan bangsa ini. Maka kita perlu mengangkat lagi nama beliau ke pentas nasional. Diskusi tentang Udin sang putera Banten ini telah ramai lagi sejak dua tahun lalu. Bahkan Pemprov Sumbar dan Pemprov Jabar sudah mengajukan beliau sebagai pahlawan. Tapi yang heran, di Banten sendiri ko wacana itu tak muncul. Padahal Udin lahir di Banten,” ungkap Aktivis Politik Islam yang pernah ditahan di era Orde Baru itu.
Nostalgia Politik Islam Indonesia
Kepemimpinan Syafrudin Prawira Negara, Mohammad Natsir, dan beberapa tokoh Islam lain dalam Kabinet pemerintahan Indonesia era 1945 sampai 1960an, kerap menjadi rujukan sebagai era keemasan politik Islam Indonesia. Pertarungan ideology saat itu begitu kental, sehingga keberadaan tokoh-tokoh Islam sebagai pucuk pimpinan dalam kabinet saat itu selalu jadi bahan perbincangan sejarah.
Tapi perbincangan, dan diskusi yang menggelegar sekalipun seakan diabaikan oleh pemerintah. Sehingga peranan mereka belum tercantum dalam sejarah resmi. Dan tentang Pak Syaf, baru dalam gelaran Satu Abad Syafrudin Prawiara Negara pekan kemarin lah, beragam dokumentasi dalam bentuk photo yang melukiskan perjuangan dan pemikiran Syafrudin dipamerkan di Banten. Buku-buku yang membahas peranan dan pemikiran tokoh Masyumi itu juga dibagikan secara gratis. Fatwa mengakui, Pemerintah Orde Baru, selama berkuasa di negeri ini memang berupaya menghilangkan peranan Direktur Bank Indonesia pertama itu.
“Peran dan pemikirannya tentang ekonomi dan pembangunan bangsa ini tak terbantahkan. Dalam kempemimpinannya sebagai Presiden PDRI, yang merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan dan Urusan Luar Negeri pada tahun 1948-1949 sangatlah penting dalam mempertahankan NKRI,” tandasnya.
Dalam acara yang sama, Menteri Agama Surya Dharma Ali (SDA) dan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono juga tak kalah semangat dalam mengungkap peranan penting pak Syaf.
Pesan terpenting Pak Syaf terhadap bangsa ini, menurut SDA adalah tentang keteladanan ahlak dan pembangunan Ekonomi Islam. “Beliau menekankan pentingnya pembangunan ahlak di tengah pembangunan ekonomi. Pembangunan Ekonomi tanpa pembangunan Ahlak menurut Pak Syaf akan menghancurkan bangsa ini. Dan ini terbukti sekarang. Korupsi terjadi di mana-mana, karena ahlak bangsa ini mengalami dekadensi,” ujarnya.
Agung Laksono juga mengurai hal sama. Ia mendukung upaya Panitia Satu Abad Syafrudin Prawiara Negara untuk mendorong Pak Syaf sebagai pahlawan Indonesia.
Sementara, Pembantu Rektor I Untirta Shaleh Hidayat dan Pembantu Rektor I IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, yang bertindak sebagai panitia lokal gelaran tersebut, mengakui jika akademisi dan Pemerintah Banten sangat terlambat dalam melibatkan diri dalam wacana tentang Pak Syaf.
“Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kami akan mengeluarkan rekomendasi kepada Gubernur Banten dan DPRD Banten untuk mengajukan gelar Pahlawan bagi Pak Syaf. Seperti yang telah dilakukan akademisi dan pemerintah Sumbar dan Jabar,” janjinya.
Pak Syaf, sejak mendeklarasikan PRRI pada 15 Februari 1958, mendapat stigma sebagai pemberontak RI. Ia disembunyikan dalam catatan sejarah resmi, bahkan hingga terbitnya keputusan Presiden BJ Habiebie No.110/TK/1998 yang menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Adipradhana pada Pak Syaf, nama Pak Syaf belum tercantum secara terhormat dalam buku-buku sejarah resmi.
“Padahal, PRRI justeru membawa semangat Otonomi Daerah. Ia tak membawa semangat pemberontakan terhadap NKRI,” tandas Shaleh. (LIK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar