Awal bulan November ini, kami berkunjung ke Museum Gajah untuk keperluan melihat secara langsung sisa-sisa lempengan prasasti Mula Malurung yang baru ditemukan tahun 2003 itu. Namun anehnya petugas di sana menyatakan jika ia tidak tahu tentang keberadaan prasasti yang sangat berharga ini, lalu menyuruh kami mencari sendiri di koridor tempat banyak prasasti batu ditempatkan.
Sekali lagi kami menjelaskan jika materi prasasti yang kami maksud terbuat dari tembaga yang berupa lempengan-lempengan tipis ( dibandingkan prasasti batu yang banyak bertebaran dan berukuran jumbo ), dan menurut pengalaman berkeliling di banyak museum biasanya dan seharusnya jenis lempengan seperti ini disimpan di dalam lemari/etalase kaca, dan itu pun hanya bisa dilihat dari luar tanpa siapapun boleh menyentuhnya. Fakta jika Bapak Petugas menyuruh kami mencari inskripsi Mula Malurung di koridor museum karena ia tidak tahu menahu mengenai benda penting yang tersimpan di dalam wilayah kerjanya, adalah sebuah keanehan sekaligus memprihatinkan. Kita semua tahu jika data primer adalah ‘nyawa’ bagi seorang peneliti sejarah, dan jika ‘nyawa’nya dihilangkan, maka seluruh kerja kerasnya berakhir sudah.
Keteledoran yang sangat fatal ini, entah apakah dikarenakan sang petugas memang tidak tahu atau benda berharga ini memang sudah tak ada lagi di sana sehingga masyarakat Indonesia yang peduli dengan sejarah bangsanya tidak lagi bisa mengakses sumber sejarah yang sangat penting ini. Karena realitas ini penulis mulai mencemaskan keberadaan prasasti-prasasti lainnya, - dan semoga hanya kekhawatiran saja - akan bernasib seperti keberadaan Prasasti Mula Malurung.
Kepada masyarakat Indonesia, jika mengetahui tentang keberadaan prasasti Mula Malurung, juga prasasti lainnya seperti prasasti Darmasraya, Sarwadharma, Amoghapasya, Sapi Kerep, Pasru Jambe, dan banyak lagi lainnya yang terkait kekaisaran Tumapel. Juga kitab-kitab kuno seperti Kidung Malat dan Wukir Polaman, Mohon untuk berbagi dengan kami.
Rida Fitria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar